MODUL NASIONALISME
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana dimaklumi berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Pola Baru , bahwa struktur kurikulum
Diklat CPNS Pola baru terdiri atas 3 tahap pembelajaran yaitu: 1) Internalisasi Nilai
dasar ANEKA ; 2) Tahap Aktualisasi ; 3) Tahap Evaluasi .
Sedangkan Mata Diklat Nasionalisme ASN
merupakan salah satu materi dalam Tahapan Internalisasi , dengan alokasi
waktu pembelajaran 6 sesi (18 Jam Pelajaran) @ 45 menit. Untuk Golongan III dn 3 sesi ( 9 JP ) untuk
Golongan II
Mata Diklat ini akan membahas bagaimana
Pembentukan Karakter melalui penanaman nilai nilai Pancasila dalam menumbuhkan
nasionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pembuat
dan pelaksana
kebijakan publik, pelayan publik, dan sebagai perekat persatuan
dan kesatuan bangsa, beserta analisis dampaknya.
Mata Diklat disajikan
secara interaktif melalui metode ceramah interaktif, diskusi, studi kasus,
simulasi, menonton film pendek, visitasi dan demonstrasi. Keberhasilan peserta
dinilai dari kemampuannya mengaktualisasikan Nilai dasar Nasionalisme dalam menjalankan tugasnya .
Materi Pelengkap Modul ini berjudul
empat pilar kehidupan erbangsa dan
bernegara, bukanlah tandingan dari modul,
Semoga bermanfaat.
B.
Deskripsi Singkat :
Mata Diklat ini akan membahas bagaimana Pembentukan Karakter melalui penanaman nilai-Nilai Pancasila dalam menumbuhkan
nasionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, dan sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa,
beserta analisis dampaknya.
Tujuan
Pembelajaran
a. Hasil Belajar :
Setelah
mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu mengaktualisasikan Pancasila
sebagai nilai-nilai dasar nasionalisme dalam pelaksanaan tugas
jabatannya.
b. Indikator Hasil
Belajar :
Setelah
mengikuti pembelajaran ini, peserta dapat:
- memahami peranan Pancasila dalam menumbuhkan nasionalisme ASN;
- memahami fungsi dan peran ASN
sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan publik;
- memahami peran ASN sebagai pelayanan publik;
- memahami fungsi ASN sebagai pemersatu bangsa; dan
- mengaktualisasikan
Pancasila sebagai nilai-nilai dasar nasionalisme dalam pelaksanaan tugas jabatannya
C. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
a. Materi Pokok:
1) Nilai nilai Nasionalisme Pancasila bagi ASN ;
2) ASN sebagai pelaksana kebijakan publik;
3) ASN sebagai pelayan publik; dan
4) ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
b. Sub materi pokok:
1.1 Pemahaman dan implementasi Nilai-nilai
ketuhanan YME, dan nilai nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi ASN dalam menjalankan Tugasnya
1.2 Pemahaman dan implementasi
Nilai-nilai persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijkasanaan
dalam permusyawaratan /perwakila, dan keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia bagi ASN dalam menjalankan Tugasnya
2.1 ASN Sebagai Pelaksana Kebijakan Publik
2.2 ASN Yang
berorientasi pada kepentingan publik
2.3 ASN berintegritas
tinggi
2.4 Implementasi ASN
sebagai Pelaksana Kebijakan Publik
3.1 ASN yang
Profesional
3.2 ASN yang melayani
Publik
3.3 Implementasi
ASN melayani dan professional yang berintegritas
tinggi
4.1 ASN sebagai
pemersatu bangsa
4.2 ASN menjaga
kondisi damai
.
BAB Ii
EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA
DAN BERNEGARA
A.
Pengantar
Dalam berbagai wacana selalu terungkap bahwa
telah menjadi kesepakatan bangsa adanya empat pilar penyangga kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi negara-bangsa Indonesia. Bahkan beberapa partai
politik dan organisasi kemasyarakatan telah bersepakat dan bertekad untuk
berpegang teguh serta mempertahankan empat pilar kehidupan bangsa tersebut.
Empat pilar dimaksud dimanfaatkan sebagai landasan perjuangan dalam menyusun
program kerja dan dalam melaksanakan kegiatannya. Hal ini diungkapkan lagi oleh
Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, pada kesempatan berbuka puasa
dengan para pejuang kemerdekaan pada tanggal 13 Agustus 2010 di istana Negara.
Empat pilar tersebut adalah (1) Pancasila, (2)
Undang-Undang Dasar 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (4)
Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun hal ini telah menjadi kesepakatan bersama, atau
tepatnya sebagian besar rakyat Indonesia, masih ada yang beranggapan bahwa
empat pilar tersebut adalah sekedar berupa slogan-slogan, sekedar suatu
ungkapan indah, yang kurang atau tidak bermakna dalam menghadapi era
globalisasi. Bahkan ada yang beranggapan bahwa empat pilar tersebut sekedar
sebagai jargon politik. Yang diperlukan adalah landasan riil dan konkrit yang
dapat dimanfaatkan dalam persaingan menghadapi globalisasi.
Untuk itulah perlu difahami secara memadai makna
empat pilar tersebut, sehingga kita dapat memberikan penilaian secara tepat,
arif dan bijaksana terhadap empat pilar dimaksud, dan dapat menempatkan secara
akurat dan proporsional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berikut disampaikan secara singkat (a) arti pilar, (b) pilar Pancasila, (c)
pilar UUD 1945, (d) pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia, (e) pilar
Bhinneka Tunggal Ika, serta (f) peran dan fungsi empat pilar dimaksud dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun sebelumnya, ada baiknya bila kita merenung
sejenak bahwa di atas empat pilar tersebut terdapat pilar utama yakni
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Tanpa adanya
pilar utama tersebut tidak akan timbul adanya empat pilar dimaksud. Antara
proklamasi kemerdekaan, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dilukiskan secara
indah dan nyata dalam lambang negara Garuda Pancasila.
Sejak tahun 1951, bangsa Indonesia, dengan
Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951, menetapkan lambang negara bagi
negara-bangsa yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ketetapan
tersebut dikukuhkan dengan perubahan UUD 1945 pasal 36A yang menyebutkan:
”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.”
Lambang negara Garuda Pancasila mengandung konsep yang sangat esensial dan
merupakan pendukung serta mengikat pilar-pilar dimaksud. Burung Garuda yang
memiliki 17 bulu pada sayapnya, delapan bulu pada ekornya, 45 bulu pada leher
dan 19 bulu pada badan di bawah perisai, menggambarkan tanggal berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perisai yang digantungkan di dada Garuda
menggambarkan sila-sila Pancasila sebagai dasar negara, ideologi bangsa dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Sementara itu Garuda mencengkeram pita yang
bertuliskan ”Bhinneka Tunggal ika,” menggambarkan keanekaragaman komponen
bangsa yang harus dihormati, didudukkan dengan pantas dan dikelola dengan baik.
Dengan demikian terjadilah suatu kesatuan dalam pemahaman dan mendudukkan
pilar-pilar tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia
mengandung konsep dan prinsip yang sangat mendasar yakni keinginan merdeka
bangsa Indonesia dari segala macam penjajahan. Tidak hanya merdeka atau bebas
dari penjajahan fisik tetapi kebebasan dalam makna yang sangat luas, bebas
dalam mengemukakan pendapat, bebas dalam beragama, bebas dari rasa takut, dan
bebas dari segala macam bentuk penjajahan modern. Konsep kebebasan ini yang
mendasari pilar yang empat dimaksud.
B.
Makna Pilar
Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan.
Pilar memiliki peran yang sangat sentral dan menentukan, karena bila pilar ini
tidak kokoh atau rapuh akan berakibat robohnya bangunan yang disangganya. Dalam
bahasa Jawa tiang penyangga bangunan atau rumah ini disebut ”soko”, bahkan bagi
rumah jenis joglo, yakni rumah yang atapnya menjulang tinggi terdapat empat
soko di tengah bangunan yang disebut soko guru. Soko guru ini sangat menentukan
kokoh dan kuatnya bangunan, terdiri atas batang kayu yang besar dan dari jenis
kayu yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian orang yang bertempat di
rumah tersebut akan merasa nyaman, aman dan selamat dari berbagai bencana dan
gangguan.
Demikian pula halnya dengan bangunan
negara-bangsa, membutuhkan pilar atau soko guru yang merupakan tiang penyangga
yang kokoh agar rakyat yang mendiami akan merasa nyaman, aman, tenteram dan
sejahtera, terhindar dari segala macam gangguan dan bencana. Pilar bagi suatu
negara-bangsa berupa sistem keyakinan atau belief system, atau philosophische
grondslag, yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang dianut oleh rakyat
negara-bangsa yang bersangkutan yang diyakini memiliki kekuatan untuk dipergunakan
sebagai landasan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Seperti halnya soko guru atau pilar bagi suatu
rumah harus memenuhi syarat agar dapat menjaga kokohnya bangunan sehingga mampu
bertahan serta menangkal segala macam ancaman dan gangguan, demikian pula
halnya dengan belief system yang dijadikan pilar bagi suatu negara-bangsa.
Pilar yang berupa belief system suatu negara-bangsa harus menjamin kokoh
berdirinya negara-bangsa, menjamin terwujudnya ketertiban, keamanan, dan kenyamanan,
serta mampu mengantar terwujudnya kesejahteraan dan keadilan yang menjadi
dambaan warga bangsa.
C.
Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara
Kedudukan dan
Fungsi Pancasila sebagai ideeologi dan dasar negara Republik Indonesia, harus
menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Namun hendaknya dipahami bahwa asal mula pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia adalah digali dari unsur-unsur yang
berupa nilai-nilai yang terdapat pada bangsa Indonesia sendiri yang berupa
pandangan hidup bangsa Indonesia.
1. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Pandangan
hidup adalah filsafat hidup seseorang yaitu kristalisasi nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya, ketepatan dan manfaatnya. Pandangan hidup yang terdiri
atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah suatu wawasan yang
menyeluruh terhadap kehidupan bangsa itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi
sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam
interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
- Pancasila sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia
Pancasila dalam kedudukan ini sering, disebut
sebagai Dasar filsafat atau Dasar.Falsafah Negara (Philosofische Gronslag) dari negara, ideologi negara atau (Staatsidee). Dalam pengertian, ini
Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan
negara atau dengan lain perkataan pancasila merupakan suatu dasar untuk
mengatur penyelenggaraan negara.
Konsekuensinya
seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan
perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini, harus
berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut
dapat dirinci sebagai berikut:
a)
Pancasila sebagai
dasar negara adalah merupakan sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia.
Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerokhanian tertib hukum Indonesia
yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok
pikiran.
b)
Meliputi suasana
kebatinan (Geistlichenhintergrund)
dari Undang-Undang Dasar 1945.
c)
Mewujudkan
cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak
tertulis).
d)
Mengandung norma
yang mengharuskan Undang-Undang Dasar mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara . (termasuk para penyelenggara
partai dan golongan fungsional) untuk memelihara budi pekerti (moral)
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai
berikut : “.................Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab ".
e)
Merupakan sumber
semangat bagi Undang-Undang Dasar 1945, bagi penyelenggara negara. para
pelaksana pemerintahan (juga para penyelenggara partai dan golongan
fungsional).
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang bunyinya sebagai berikut :
“..............maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
- Pancasila
sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia.
Istilah ideologi berasal dari kata 'idea' yang
berarti 'gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita' dan 'logos'
yang berarti ‘ilmu', Kata
'idea' berasal dari kata bahasa Yunani 'eidos' yang artinya 'bentuk'.
Di samping itu ada kata ‘idein' yang artinya 'me/ihat'. Maka
secara harfiah, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide (the science
of ideas). atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian
sehari-hari, 'idea' disamakan artinya dengan, 'cita-cita'. Cita-cita yang. dimaksud adalah cita-cita
yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap
itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham.
Memang pada hakekatnya
antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat merupakan satu-kesatuan. Dasar
ditetapkan karena ada cita-cita yang mau dicapai. Sebaliknya, cita-cita
ditetapkan berdasarkan atas suatu landasan. asas atau dasar yang telah
ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang
idea-idea, pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan dan cita-cita.
- Pancasila
sebagai Ideologi yang Reformatif, Dinamis dan Terbuka
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat
kaku dan tertutup, namun bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini
dimaksudkan bahwa ideologi Pancsila adalah bersifat aktual, dinamis,
antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu
pengetahuan, dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat.
Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung
di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih kongkrit, sehingga
memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual
yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi rakyat.
D.
Nilai-nilai
yang Terkandung dalam Ideologi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
1.
Nilai
Dasar, yaitu hakikat kelima sila
Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatu, kerakyatan dan keadilan. Nilai
dasar tersebut adalah merupakan essensi dari sila-sila Pancasila yang sifatnya
universal, sehingga dalam nilai dasar tersebut terkandung cita-cita, tujuan
serta nilai-nilai yang baik dan benar.
2.
Nilai
Instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan, strategi,
sasaran serta lembaga pelaksananya. Nilai instrumental ini merupakan
eksplisitasi, penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar dalam rangka penyesuaian
dalam pelaksanaan nilai-nilai dasar ideologi Pancasila.
3.
Nilai Praktis
a)
Dimensi
Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
Pancasila yang bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, yaitu hakikat
nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Hakikat nilai-nilai
Pancasila tersebut bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis
yang terkandung dalam Pancasila).
b)
Dimensi
Normatif, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam norma-norma
kenegaraan.
c)
Dimensi Realistis, yaitu
suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain memiliki dimensi nilai-nilai
ideal serta normatif maka Pancasila harus mampu dijabarkan dalam kehidupan
masyarakat secara nyata (kongkrit) baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam penyelenggaraan negara.
4. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila.
a) Ketuhanan Yang
Maha Esa
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan pencipta
seluruh alam. Yang Maha Esa, berarti Yang Maha Tunggal, tiada sekutu dalam
zat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Zat Tuhan tidak terdiri atas zat-zat
yang banyak lalu menjadi satu. Sifat-Nya adalah sempurna dan perbuatan-Nya
tiada dapat disamai oleh siapa pun/apa pun. Tiada yang menyamai Tuhan, Dia Esa.
Jadi. Ketuhanan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta.
b)
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan berasal
dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi pikir,
rasa, karsa, dan cipta. Karena potensi seperti yang dimilikinya itu, manusia
tinggi martabatnya. Dengan budi nuraninya, manusia menyadari nilai-nilai dan
norma-norma.
Adil berarti wajar,
yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Keputusan dan
tindakan didasarkan pada objektifitas, tidak pada subjektifitas. Di sinilah
yang dimaksud dengan wajar/ sepadan.
Maksudnya, sikap
hidup, keputusan, dan tindakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran
budi, kesopanan, dan kesusilaan. Adab terutama mengandung pengertian tata
kesopanan, kesusilaan, atau moral. Dengan demikian, beradab berarti berdasarkan
nilai-nilai kesusilaan, bagian dari kebudayaan. Kemanusiaan yang adil dan
beradab ialah kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada potensi budi
nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan umumnya, baik
terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan.
c)
Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh
tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam
corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam
sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang
mendiami seluruh wilayah Indonesia.
d) Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa kekuasaan yang
tertinggi berada di tangan rakyat Kerakyatan disebut pula kedaulatan rakyat.
Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan
selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat, dan
dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan bertanggung jawab serta didorong dengan
itikad baik sesuai dengan hati nurani.
Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas
kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan atau memutuskan suatu hal
berdasarkan kehendak rakyat, sehingga tercapai keputusan yang berdasarkan
kebulatan pendapat atau mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti
tata cara (prosedur) mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam
kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam
melaksanakan tugas kekuasaannya ikut dalam pengambilan keputuan-keputusan,
e)
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila kelima
yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai yang terkandung
antara lain perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau
kemasyarakatan meliputi seluruh bangsa Indonesia, keadilan dalam kehidupan
sosial terutama meliputi bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan dan pertahanan keamanan nasional (Ipoleksosbud hankamnas), cita-cita
masyarakat adil makmur, material dan spiritual yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan cinta akan kemajuan dan pembangunan. Nilai sila ini diliputi dan
dijiwai sila I, II, III, dan IV.
Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma
berdasarkan ketidak berpihakkan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu
hal. Setiap bangsa Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan
berkembang serta belajar hidup. Segala usaha diarahkan untuk menggali potensi
rakyat, membangun perwatakan sehingga bisa meningkatan kualitas rakyat. Dengan
demikian kesejahteraan yang meratapun bisa tercapai.
E.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia sebagai Konstitusi Negara
Undang-Undang
Dasar menempati tata urutan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam
negara. Dalam konteks institusi negara, konstitusi bermakna permakluman
tertinggi yang menetapkan antara lain pemegang kedaulatan tertinggi, struktur
negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, kekuasaan legislatif, kekuasaan
peradilan dan berbagai lembaga negara serta hak-hak rakyat.
Konstitusi
merupakan hukum yang lebih tinggi dan paling fundamental sifatnya karena
merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau
peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yangberlaku
universal, agar peraturan yang tingkatannya berada di bawah undang-undang dasar
dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan
hukum yang lebih tinggi tersebut.
Pengaturan
sedemikian rupa, menjadikan dinamika kekuasaan dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan dan negara dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, paham konstitusionalisme dalam suatu negara merupakan konsep
yang seharusnya ada.
Paham
konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi sebagai hukum dalam
penyelenggaraan negara. Konstitusionalisme mengatur pelaksanaan rule of law (supremasi
hukum) dalam hubungan individu dengan pemerintah. Konstitusionalisme
menghadirkan situasi yang dapat memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan
terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Konstitusionalisme mengemban the limited state (negara terbatas), agar
penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal dimaksud
dinyatakan serta diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi.
Pada
prinsipnya paham konstitusionalisme adalah menyangkut prinsip pembatasan
kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu
sama lain, yaitu: pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara;
dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga
pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk
mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ
negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang
lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan
warga negara.
Konstitusi
menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi
konstitusionalisme, memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan,
serta instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik
rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada
organ-organ kekuasaan negara.
Kekuasaan
dibutuhkan oleh negara karena memberi kekuatan vital bagi penyelenggaraan
pemerintahan. Namun harus diwaspadai tatkala kekuasaan itu terakumulasi di
tangan penguasa tanpa dibatasi konstitusi.
Sesuai
dengan rumusan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”. Pasal tersebut dimaksud memuat paham konstitusionalisme. Rakyat
pemegang kedaulatan tertinggi terikat pada konsititusi. Kedaulatan rakyat
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan
demikian, Undang-Undang Dasar merupakan sumber hukum tertinggi yang menjadi
pedoman dan norma hukum yang dijadikan sumber hukum bagi peraturan perundangan
yang berada di bawahnya. Untuk menjaga paham konstitusionalisme maka
dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang diberi tugas untuk menjaga Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi yang salah satu tugasnya adalah menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar dimaksudkan agar tidak ada undang-undang yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sehingga ini memberikan penegasan bahwa konstitusi sebagai sumber hukum
tertinggi merupakan puncak dari seluruh peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disusun oleh pendiri negara,
secara keberlakuan mengalami pasang surut sesuai dengan kebijakan politik saat
itu. Periodisasi keberlakuan tersebut menggambarkan bahwa konstitusi yang
menjadi fundamen/dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar
telah diuji dengan berbagai peristiwa dan kondisi bangsa sesuai dengan dinamika
sejarah yang berlangsung saat itu.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun
1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar
Indonesia. Substansinya mencakup dasar-dasar normatif yang berfungsi sebagai
sarana pengendali terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika
perkembangan zaman sekaligus sarana pembaruan masyarakat ke arah cita-cita
kolektif bangsa. Belajar dari kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai
negara di dunia, yang menjadikan undang-undang dasar hanya sebagai konstitusi
politik, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga
berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
Sejak digulirkan reformasi,
MPR berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali.
• Amandemen pertama, dilakukan pada Sidang Umum MPR
RI Tanggal 19 Oktober 1999 dengan perubahan dan penambahan pasal-pasal sebagai
berikut :
Pasal 5 (1), pasal
7, pasal 9, pasal 13 (2), pasal 14, pasal 15, pasal 17 (2) (3), pasal 20 dan
pasal 21, yang inti substansinya tentang pembatasan masa jabatan presiden,
kewenangan legislatif serta substansi yang membatasi kewenangan presiden. (Arif
Hidayat dalam Hasan Suryono, 2005 : 70 ).
• Amandemen Kedua, dilakukan pada Sidang Tahunan
MPR RI tanggal 18 Agustus 2000 yang menghasilkan perubahan dan penambahan yang
lebih luas lagi, yaitu pasal 18, pasal 19, pasal 20 (5), pasal 20 a dan b, Bab
IXa, pasal 25e, Bab X, pasal 26 (2), pasal 27 (3), Bab Xa, pasal 28a sampai c.
• Amandemen Ketiga, dilakukan pada Sidang Tahunan
MPR RI tanggal 9 Nopember 2001 menyangkut perubahan dan penambahan yang
substansinya lebih luas dan mendasar, yaitu perubahan dan penambahan mengenai
kewenangan MPR, tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung
oleh rakyat dan memunculkan lembaga-lembaga negara baru serta pencantuman
secara explisit peraturan mengenai pemilu.
• Amandemen Keempat, dilakukan pada tanggal 10
Agustus 2002 berhasil menuntaskan perubahan-perubahan mengenai hal-hal yang
belum disepakati oleh kekuatan sosial politik yang ada di MPR pada sidang
tahunan MPR RI 2001.
F.
Negara Kesatuan Republkik Indonesia
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengukuhkan keberadaan
Indonesia sebagai Negara Kesatuan dan menghilangkan keraguan terhadap pecahnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkukuh prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tidak sedikit pun mengubah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi negara
federal. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mendorong pelaksanaan otonomi daerah untuk lebih memperkukuh Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan proses pembangunan di daerah dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu,
diperlukan adanya pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang
komprehensif untuk pelaksanaan otonomi daerah sehingga dapat dilaksanakan
sesuai dengan hakikat tujuan pembangunan nasional.
Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
merupakan naskah asli mengandung prinsip bahwa ”Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Pasal yang dirumuskan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut merupakan tekad bangsa Indonesia yang
menjadi sumpah anak bangsa pada 1928 yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, yaitu
satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu tanah air yaitu Indonesia.
Penghargaan terhadap cita-cita luhur para pendiri bangsa (The Founding
Fathers) yang menginginkan Indonesia sebagai negara bangsa yang satu
merupakan bagian dari pedoman dasar bagi MPR 1999-2004 dalam melakukan
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wujud
Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kukuh setelah dilakukan perubahan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dimulai
dari adanya kesepakatan MPR yang salah satunya adalah tidak mengubah Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final negara
bagi bangsa Indonesia.
Kesepakatan
untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan didasari pertimbangan bahwa
negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara
Indonesia dan dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa
yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang (dasar pemikiran).
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara nyata mengandung semangat
agar Indonesia ini bersatu, baik yang tercantum dalam Pembukaan maupun dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang langsung menyebutkan tentang Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam lima Pasal, yaitu: Pasal 1 ayat (1), Pasal 18
ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 25A dan pasal 37 ayat (5) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta rumusan pasal-pasal yang
mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keberadaan lembaga-lembaga
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Prinsip
kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertegas dalam alinea
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dalam upaya membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Pembentukan
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia itu bertujuan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan
tersebut bisa dicapai hanyalah dengan adanya kemerdekaan bagi bangsa
Indonesaia, sehingga dalam alinea keempat ini secara tegas diproklamirkan,
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbentuk dalam satu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.
Dengan
menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar dalam berdirinya bangsa Indonesia dalam
Negara Kesatuan, Pembukaan tersebut tetap dipertahankan dan dijadikan pedoman.
Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
naskah asli yang tidak dilakukan perubahan karena merupakan bagian dari
komitmen MPR untuk tetap mempertahankan Negara Kesatuan dalam bentuk Negara
Republik Indonesia sehingga pasal ini mengayomi pula keberadaan pasal-pasal
selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
bahkan dalam Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ditegaskan pula bahwa, hanya bentuk Negara Kesatuan saja yang tidak
dapat dilakukan perubahan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dengan tidak dilakukannya perubahan tersebut semakin
memperkukuh bentuk Negara Kesatuan sebagai bentuk final dan menghilangkan
kekhawatiran sebagian masyarakat agar Indonesia tidak menjadi negara federal.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia itu adalah negara yang memiliki satu kesatuan
teritori (sesuai dengan UNCLOS 1982) dari Sabang sampai Merauke dan dari
Miangas sampai pulau Rote, satu kesatuan bangsa yang disebut bangsa Indonesia
(Sumpah Pemuda 1928), satu kesatuan kepemilikan sumber kekayaan alam yang
peruntukannya sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, satu kesatuan
ideologi negara yaitu ideologi Pancasila, satu kesatuan politik nasional yang
harus selalu berpihak pada kepentingan nasional (national interest),
satu kesatuan perekonomian nasional yang harus selalu berpihak pada upaya
mensejahterakan rakyat Indonesia, satu kesatuan budaya nasional yang memiliki
jati diri Indonesia sebagai karakter nasional dan sistem pertahanan keamanan
nasional yang khas menurut kharakteristik Indonesia, itulah makna yang dalam
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, kota itu mempunyai pemerintahan dan, yang diatur dengan
undang-undang.” Dari Pasal ini teridentifikasi bahwa prinsip penulisan Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk menunjukkan bahwa Negara Kesatuan tidak bisa
diubah yang merupakan suatu tekad yang tidak bisa ditawar sama sekali.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia dinyatakan dibagi atas bukan terdiri atas.
Kalimat “dibagi atas” menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
tersebut adalah satu, setelah itu baru kemudian dibagi atas daerah-daerah,
sehingga Negara Kesatuan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Meskipun Negara
Kesatuan Republik Indonesia sudah dibagi, dia merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan bahkan dimungkinkan untuk ditarik kembali apabila ada yang
ingin mencoba memisahkan diri dari kesatuannya. Kalimat ”dibagi atas provinsi
dan provinsi dibagi atas kabupaten dan kota” adalah sebagai wujud pengukuhan
dari pengakuan otonomi daerah yang diberikan pengakuan memiliki pemerintahan
sendiri yakni pemerintahan daerah namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ketentuan pasal ini merupakan entry point (pintu
masuk atau sebagai dasar) pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mempererat
kembali keutuhan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sehingga tidak ada lagi perbedaan pendapat terhadap bentuk negara Indonesia
sebagai negara kesatuan.
Pasal 18B
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan–kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang.”
Pasal ini
memberikan tempat dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat berserta
hak-hak tradisionalnya yang memang sudah ada sejak lama bahkan masih hidup di
tengah-tengah masyarakat setempat, akan tetapi masyarakat hukum tersebut dengan
hak-hak tradisionalnya itu tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk
menegakkan negara sendiri mengingat masyarakat hukum adat tersebut sangat besar
dan berlainan dengan masyarakat hukum adat di daerah lainnya. Pengakuan dan
penghormatan negara tersebut justru dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal 25A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa
“Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang.”
Adanya
ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan. Hal ini
penting dirumuskan agar ada penegasan secara kons-titusional batas wilayah
Indonesia di tengah potensi perubahan batas geografis sebuah negara akibat
gerakan separatisme, sengketa perbatasan antarnegara, atau pendudukan oleh
negara asing.
Berkaitan
dengan wilayah negara Indonesia, pada 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia
mengeluarkan Deklarasi Djuanda. Deklarasi itu menyatakan: “Bahwa segala
perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang
termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau
lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik
Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan pedalaman atau
perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan
titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan
Undang-undang.”
Sebelumnya,
pengakuan masyarakat internasional mengenai batas laut teritorial hanya
sepanjang 3 mil laut terhitung dari garis pantai pasang surut terendah.
Deklarasi
Juanda menegaskan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah Nusantara.
Laut bukan lagi sebagai pemisah, tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia.
Prinsip ini kemudian ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Berdasarkan
Deklarasi Juanda tersebut, Indonesia menganut konsep negara kepulauan yang
berciri Nusantara (archipelagic state). Konsep itu kemudian diakui dalam
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982 = United Nations Convention on the
Law of the Sea) yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, tahun 1982.
Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 tersebut dengan menerbitkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Sejak itu dunia internasional mengakui
Indonesia sebagai negara kepulauan.
Berkat
pandangan visioner dalam Deklarasi Djuanda tersebut, bangsa Indonesia akhirnya
memiliki tambahan wilayah seluas 2.000.000 km2, termasuk sumber daya alam yang
dikandungnya.
Pada saat
membahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengenai wilayah negara ini, sebenarnya timbul keinginan
untuk mempergunakan penyebutan Benua Maritim Indonesia untuk pengenalan wilayah
Indonesia seperti yang telah dideklarasikan oleh pemerintah pada 1957. Hal itu
tidaklah berlebihan mengingat ada klaim penyebutan Benua Antartika untuk Pulau
Antartika yang berada di Kutub Selatan.
Dengan
adanya ketentuan mengenai wilayah negara tersebut, pada masa mendatang
kemungkinan pemisahan sebuah wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak akan terjadi. Demikian pula hal itu akan mendukung penegakan hukum di
seluruh wilayah tanah air, dalam melakukan perundingan internasional yang
berkaitan dengan batas wilayah negara Indonesia, serta pengakuan internasional
terhadap kedaulatan wilayah negara Indonesia.
Kesadaran
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, mengingat besarnya jumlah penduduk,
sumber daya alam yang melimpah, serta luasnya wilayah pasti akan memberikan
kepercayaan diri yang besar.
G.
Bhinneka Tunggal Ika
Dalam
mengelola kemajemukan masyarakat, Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang
cukup panjang bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Negara Barat relatif
masih baru mewacanakan hal ini, sebelum dikenal apa yang disebut dengan multikulturalisme
di Barat, jauh berabad-abad yang lalu bangsa Indonesia sudah memiliki
falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Sejarah juga membuktikan bahwa semakin banyak
suatu bangsa menerima warisan kemajemukan, maka semakin toleran bangsa tersebut
terhadap kehadiran “yang lain”.
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas berbagai suku
bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbeda-beda.
Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke. Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa
Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat yang beragam
budaya.
Seperti dikemukan di atas, pola sikap bangsa
Indonesia dalam menghadapi keaneka-ragaman ini berdasar pada suatu sasanti atau
adagium “Bhinneka Tunggal Ika,” yang bermakna beraneka tetapi satu, yang hampir
sama dengan motto yang dipegang oleh bangsa Amerika, yakni “e pluribus unum.”
Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan
Undang-Undang Dasar Sementera tahun 1950, pasal 3 ayat (3) menentukan perlunya
ditetapkan lambang negara oleh Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari pasal
tersebut terbit Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang
Negara.
Baru setelah diadakan perubahan UUD 1945, dalam
pasal 36A menyebutkan : ”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika.” Dengan demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan
yang merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUD. Oleh karena itu
untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara,
makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk
selanjutnya difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan
benar pula.
Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yg terdapat dalam Lambang Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 disebutkan bahwa : Lambang Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu:
Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yg terdapat dalam Lambang Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 disebutkan bahwa : Lambang Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu:
·
Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya
lurus ke sebelah kanannya;
·
Perisai berupa jantung yang digantung dengan
rantai pada leher Garuda, dan
·
Semboyan yang ditulis di atas pita yang
dicengkeram oleh Garuda. Di atas pita tertulis dengan huruf Latin sebuah
semboyan dalam bahasa Jawa Kuno yang berbunyi : BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Adapun
makna Lambang Negara tersebut adalah sebagaki berikut:
Burung Garuda disamping menggambarkan tenaga
pembangunan yang kokoh dan kuat, juga melambangkan tanggal kemerdekaan bangsa
Indonesia yang digambarkan oleh bulu-bulu yang terdapat pada Burung Garuda
tersebut. Jumlah bulu sayap sebanyak 17 di tiap sayapnya melambangkan tanggal
17, jumlah bulu pada ekor sebanyak 8 melambangkan bulan 8, jumlah bulu dibawah
perisai sebanyak 19, sedang jumlah bulu pada leher sebanyak 45. Dengan demikian
jumlah bulu-bulu burung garuda tersebut melambangkan tanggal hari kemerdekaan
bangsa Indonesia, yakni 17 Agustus 1945.
Sementara itu perisai yang tergantung di leher
garuda menggambarkan Negara Indonesia yang terletak di garis khalustiwa,
dilambangkan dengan garis hitam horizontal yang membagi perisai, sedang lima
segmen menggambarkan sila-sila Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan
dengan bintang bersudut lima yang terletak di tengah perisai yang menggambarkan
sinar ilahi. Rantai yang merupakan rangkaian yang tidak terputus dari bulatan
dan persegi menggambarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang sekaligus
melambangkan monodualistik manusia Indonesia. Kebangsaan dilambangkan oleh
pohon beringin, sebagai tempat berlindung; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawarakatan/perwakilan dilambangkan dengan banteng
yang menggambarkan kekuatan dan kedaulatan rakyat. Sedang Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dengan kapas dan padi yang menggambarkan kesejahteraan
dan kemakmuran.
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal
Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami
secara mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka
ragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep
yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara
tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan
ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru.
Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di
Indonesia dicari common denominator,
yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan
common denominator ini yang kita
pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam
hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah,
tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berwawasan kebangsaan.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian
dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak
mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini
akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang
memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan
yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas
dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan
minoritas.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis
yang hanya menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap
saling percaya mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai
dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat
dipersatukan.
Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak
divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk
dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama.
Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian,
inklusif, akomodatif, dan rukun.
Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural
Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai: (1) inklusif, tidak bersifat eksklusif,
(2) terbuka, (3) ko-eksistensi damai dan kebersamaan, (4) kesetaraan, (5) tidak
merasa yang paling benar, (6) tolerans, (7) musyawarah disertai dengan penghargaan
terhadap pihak lain yang berbeda. Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif
sehingga tidak memungkinkan terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi
arus globalisasi yang demikian deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi
keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat bagi
berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi
serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik
secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang
paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada
pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah
harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan
tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan
perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya
perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan unsur
bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah harus
dari putra daerah , menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata
untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan.
Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan
menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang
damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan
terwujud.
Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung
dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana
prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
1. Perilaku
inklusif.
Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu
prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam
kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa
dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya
hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa
besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah
dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak
dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2. Mengakomodasi
sifat pluralistik
Bangsa
Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh
masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan
bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah
demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna
pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara
tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat
menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan
martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi
menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi
lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan
sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola
kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang
tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama
pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu
membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak
membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya.
Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan
masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
3. Tidak
mencari menangnya sendiri
Menghormati
pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang
paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam
menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan
hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak
untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan
divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari
berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai
mufakat.
4. Musyawarah
untuk mencapai mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam
keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawa-rah untuk mencapai mufakat.”
Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common
denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal
ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan
cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan. Tidak ada
yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
5. Dilandasi
rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam
menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu
dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh.
Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang
dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan
Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing
pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah
untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih
pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan,
sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak
mungkin terwujud.
Bila setiap warganegara memahami makna Bhinneka
Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan
secara tepat dan benar, maka Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu
selamanya.
BAB iiI
P E N U T U
P
Membludaknya berbagai
wacana baik dari unsur pemerintahan maupun organisasi politik dan
kemasyarakatan, akhirnya mulai mengungkap bahwa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara terdapat kesepakatan yang disebut sebagai empat pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara. Empat pilar ini adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Pilar adalah tiang
penyangga suatu bangunan agar bisa berdiri secara kokoh. Bila tiang ini rapuh
maka bangunan akan mudah roboh, “Empat pilar itu pula lah yang menjamin
terwujudnya kebersamaan dalam hidup bernegara. Rakyat akan merasa aman
terlindungi sehingga merasa tenteram dan bahagia”.
Empat pilar tersebut
juga fondasi atau dasar dimana bisa memahami bersama kokohnya suatu bangunan
sangat bergantung dari fondasi yang melandasinya. Dasar atau fondasi bersifat
tetap, statis sedangkan pilar bersifat dinamis.
Diterimanya pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa
nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi
penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada
hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental.
Pilar yang terkandung
dalam UUD 45 pun terdapat tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Pilar tersebut menyebutkan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Hal ini berarti tujuan Negara Indonesia itu sendiri mengarah kepada
kepribadian bangsa Indonesia.
Disempurnakan melalui
rumusan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
semua hal ini merupakan tujuan Negara hukum material, yang secara keseluruhan
sebagai tujuan khusus atau nasional. Sehingga lahirlah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
NKRI lahir dari
pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang bertekad
mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI adalah prinsip pokok, hukum,
dan harga mati.
Ditunjang dengan
Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan motto atau semboyan Indonesia. Yang
seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Keempat
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, semestinya harus kita jaga, pahami,
hayati dan laksanakan dalam pranata kehidupan sehari-hari, di mana Pancasila
yang menjadi sumber nilai menjadi ideologi, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai aturan yang semestinya ditaati, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati, serta Bhinneka Tunggal Ika
adalah perekat semua rakyat. Maka dalam bingkai empat pilar tersebut yakinlah
tujuan yang dicita-citakan bangsa ini akan terwujud.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiono
Kusumohamodjojo, 2000, Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo:
Jakarta.
Buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara(MPR-RI)
Kansil,
C.S.T., Pancasila dan UUD 1945, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003).
Ketetapan
MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Kusuma
R.M. A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).
Latif,
Yudi, (2010) Negara Paripurna,
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama
Jakarta.
Maarif,
Ahmad Syafii, ”Bhinneka Tunggal Ika Pesan Mpu Tantular Untuk Keindonesiaan
Kita”, Makalah dalam Lokakarya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,
Jakarta: MPR RI, 17-19 Juni 2011.
Noorsena
Bambang, “Bhinneka Tunggal Ika; Sejarah, Filosofi, dan Relevansinya sebagai
Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Makalah dalam Lokakarya
MPR RI, Jakarta: 17-19 Juni 2011.
Peraturan Kepala LAN RI, No. 13 Tahun 2013. tentang
Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tingkat IV.
Tim Penyusun, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011).
apa yang membedakan nilai "kemanusiaan yang adil dan beradab" dengan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sehingga jelas beanya. terima kasih. wasalam Abu.
BalasHapus